Ruangsidang.com – Pemerintah Indonesia resmi meneken kontrak pembelian 48 unit pesawat tempur KAAN buatan Turki. Transaksi ini terjadi dalam pameran pertahanan internasional (IDEF) 2025 di Istanbul pada Sabtu, 26 Juli. Nilai pembelian diperkirakan melebihi Rp160 triliun. Kesepakatan tersebut menjadi sorotan karena dilakukan di tengah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta kebijakan efisiensi fiskal yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Ekonom menilai pembelian alutsista berskala besar di tengah tekanan fiskal saat ini memunculkan tanda tanya besar terkait sumber pembiayaannya. Direktur Center for Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut sekitar seperempat penerimaan pajak negara, atau senilai Rp552 triliun, terserap hanya untuk pembayaran bunga utang yang mencapai Rp800 triliun.
Lebih lanjut, Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN tahun 2025 akan menembus angka Rp662 triliun, atau sekitar 2,78% dari produk domestik bruto (PDB). Dengan proyeksi tersebut, ruang fiskal dinilai semakin terbatas.
“Saya tidak paham akan dibayar pakai apa. Ruang APBN semakin sempit. Jika dipaksakan, potensi untuk menambah utang sangat besar, dan itu bisa menjerumuskan ke dalam jebakan gagal sistemik,” ujar Bhima dalam keterangan pada Senin, 4 Agustus.
Pembelian pesawat tempur ini bukan yang pertama dalam kepemimpinan Prabowo. Sebelumnya, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, ia telah mengamankan kontrak pembelian 42 unit jet tempur Rafale asal Prancis senilai lebih dari Rp130 triliun, serta sejumlah alutsista lain.
Dilihat dari nilai anggarannya, pembelian KAAN bahkan melampaui dana abadi pendidikan LPDP sebesar Rp154 triliun. Jumlah itu juga setara dengan sepertiga dari total anggaran perlindungan sosial tahun ini yang mencapai Rp504,7 triliun, yang menyasar jutaan penerima manfaat.
Dari perspektif pertahanan, pakar militer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin, menilai langkah pemerintah sejalan dengan agenda modernisasi kekuatan udara nasional. Namun, ia mengingatkan pentingnya kesiapan personel, doktrin, serta skema pembiayaan yang matang agar armada baru tersebut bisa dioperasikan secara maksimal.
Menanggapi sorotan tersebut, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa tidak ada yang keliru dalam kontrak tersebut. Menurutnya, penguatan pertahanan tetap menjadi kebutuhan strategis meskipun pemerintah sedang menjalankan efisiensi anggaran. “Efisiensi bukan berarti menghentikan belanja. Memperkuat pertahanan adalah kebutuhan nasional,” ucapnya di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Di sisi lain, Bhima menilai jika pembelian ini menggunakan APBN, maka berisiko menggeser alokasi belanja sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan. Ia bahkan menyoroti bahwa pembayaran bunga utang negara di 2025 telah mencapai 76,3% dari anggaran pendidikan dan 256% dibandingkan anggaran kesehatan.
“Kalau porsi bunga utang sudah lebih besar dari belanja pendidikan atau kesehatan, itu menandakan kondisi fiskal yang rapuh. Apalagi jika Indonesia menghadapi resesi, maka tak ada lagi ruang untuk bermanuver,” pungkas Bhima.
Hingga kini, pihak Kementerian Pertahanan belum memberikan keterangan resmi terkait skema pembiayaan pembelian pesawat tempur KAAN tersebut.