Jakarta – Dinamika politik terkini menempatkan sorotan pada Mahkamah Konstitusi (MK) pasca-putusan sidang terkait ambang batas pencalonan di Pilkada Serentak 2024. Terobosan hukum baru ini dibahas luas, menandai babak penting bagi demokrasi Indonesia. MK telah mengeluarkan keputusan yang mengubah aturan main pencalonan kepala daerah, di mana ambang batas pencalonan akan ditentukan berdasarkan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Keputusan tersebut telah disambut oleh berbagai kalangan, termasuk para ahli hukum, pengamat politik, dan organisasi pemantau pemilu, dengan tanggapan yang beragam. #KawalPutusanMK
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md mengapresiasi keputusan tersebut dan menekankan urgensi pelaksanaannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Sehingga masyarakat yang di daerah itu tenang. Masih ada waktu sembilan hari lagi untuk menyiapkan segala sesuatunya dan supaya diingat bahwa putusan MK itu berlaku sejak palu diketuk,” ujar Mahfud. Ini mengindikasikan bahwa putusan MK harus diterapkan pada Pilkada 2024, yang mana menjadi referensi penurunan ambang batas yang diusung Mahfud pada salah satu Rapat Dengar Pendapat di DPR RI pada tahun 2018.
Profil demokratis dari putusan MK ini dirasa dapat menekan potensi terjadinya kotak kosong dalam pemilihan. Berdasarkan keputusan MK, terdapat empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan, yaitu 10 persen; 8,5 persen; 7,5 persen; dan 6,5 persen sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. “Pertama, dulu saya bicara threshold (ambang batas) untuk presiden (pilpres). Lalu yang kedua, bicara untuk pilkada. Kalau memang calon perseorangan itu boleh 6 persen, misalnya, atau boleh 10 persen, maka partai politik dan gabungannya boleh dong 10 persen karena dia lebih real,” tutur Mahfud. #KawalPutusanMK
Baca juga: Reza Rahadian Turun ke Jalan, Ikut Sampaikan Suara Hati Demi Keadilan Demokrasi
Putusan ini juga mendapatkan perhatian dalam aksi mahasiswa yang menyuarakan dukungannya terhadap keputusan MK, mencerminkan keterkaitan antara putusan hukum dengan aspirasi publik. Situasi ini diperkuat dengan penolakan Partai Buruh yang batal menggelar unjuk rasa menolak pengesahan revisi UU Pilkada, menunjukkan suatu tanda duet antara upaya hukum dan pergerakan sosial.
Di sisi lain, dinamika politik di tingkat parlemen menunjukkan respons yang berbeda. Putusan MK soal Pilkada mendapat perhatian serius dari DPR, yang tampaknya menyimpan rencana untuk pembahasan lebih lanjut sehubungan dengan revisi UU Pilkada yang diusulkan.
Keputusan ini membuka dimensi baru dalam konteks Pilkada Gubernur Jakarta 2024, dengan konsekuensi bahwa partai-partai kini memiliki peluang yang lebih luas untuk mengajukan calonnya sendiri tanpa perlu mendapatkan suara yang signifikan dari jumlah kursi DPRD. Hal ini tentunya akan mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan Pilkada di Jakarta dan daerah lainnya.
Sebagai penutup, keputusan MK soal ambang batas pencalonan Pilkada ini merupakan sebuah keputusan krusial yang memberikan dampak signifikan bagi peta politik Indonesia, khususnya dalam konteks Pilkada Serentak 2024. Keberanian MK dalam mengambil keputusan ini diharapkan dapat menjadikan proses demokrasi di Indonesia semakin matang dan inklusif, menghadirkan pilihan-pilihan yang sehat dan representatif bagi aspirasi masyarakat. #KawalPutusanMK